19 Januari 2009
JUBI - Kunjungan beberapa perwakilan PBB ke tanah Papua kini dituangkan dalam bentuk buku berisi kompilasi rekomendasi terhadap Indonesia oleh mekanisme HAM PBB.
Upaya mengumpulkan seluruh rekomendasi yang telah diberikan kepada Indonesia oleh sejumlah Treaty Bodies dan mekanisme khusus HAM PBB serta kelompok kerja Universal Periodic Review (UPR) PBB merupakan langkah penting dalam proses evaluasi terhadap kemajuan yang telah dicapai dan hambatan yang dihadapi dalam rangka penerapan berbagai norma dan standar HAM yang selama ini telah dan tengah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Perwakilan Deplu dalam uraian buku informasi yang berjudul kompilasi rekomendasi terhadap Indonesia oleh mekanisme HAM PBB, dihadapan para wartawan Jayapura yang berlangsung di Swisbell Hotel beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa bahwa, dicanangkannya Ran-Ham (Rencana Aksi Nasional HAM) 2004-2009 adalah Pertama, membentuk dan memperkuat kelembagaan untuk melaksanakan Ran-Ham. Kedua, mempersiapkan ratifikasi instrumen HAM Internasional. Ketiga, persiapan harmonisasi legislasi-legislasi yang relevan. Keempat, diseminasi dan pendidikan HAM. Kelima, pelaksanaan norma-norma dan standar HAM serta Enam, monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Khusus untuk Papua banyaknya pelaporan tentang adanya pelanggaran HAM yang telah dihimpun pada kunjungan utusan khusus PBB diantaranya, Mrs. Hina Jilani ke Indonesia pada 5-13 Juni 2007 yang kemudian disusul oleh special Rapporteur On Turture, Mr. Manfredd Nowak pada November 2007 lalu memunculkan rekomendasi dan mekanisme penanganan yang lebih serius lagi.
Ini merupakan sebuah langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi kemajuan-kemajuan tersebut di atas tidak menutup masih banyaknya kasus kekerasan terhadap HRD di pertengahan tahun 2007 hingga 2008, terutama di daerah konflik seperti Papua, Aceh dan Ambon. Stigmatisasi sebagai separatis masih saja melekat di ketiga daerah tersebut dan menjadi justifikasi bagi aparat untuk melakukan tindak kekerasan terhadap HRD. Seperti yang dialami 11 orang pengurus Dewan Adat Papua yang diperiksa aparat Polda Papua pada tanggal 6 Juli 2007 terkait pembentangan bendera bintang kejora pada tarian Sampari yang ditarikan pada pembukaan acara Konferensi Dewan Adat Papua.
Isu separatisme juga menjadi alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk secara massive melakukan deployment pasukan ke Papua agar dapat tetap mempertahankan wilayah NKRI. Tetapi pengiriman pasukan tersebut ternyata tidak sejalan dengan terjaminnya rasa aman masyarakat Papua karena masyarakat justru merasa was-was dan ketakutan. Pastor John Djonga, seorang pastor Katholik yang bertugas di wilayah perbatasan RI-Papua New Guinea di distrik Waris-Kabupaten Keerom, Papua yang mencoba menyuarakan keberatan masyarakat terhadap droping pasukan keamanan justru mendapat ancaman serius.
Ketakutan “separatisme Papua” memang masih menghantui Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu salah satu hak rakyat Papua yang selalu mendapat pengawasan ketat dari Pemerintah adalah kebebasan menyatakan pendapat. Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-123/A/JA/11/2007 telah melarang beredarnya buku karangan Sendius Wonda, S.H., M.Si berjudul “Tenggelamnya Rumpun Melanesia; Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat”. Jaksa Agung juga mengeluarkan instruksi no. INS-004/1/JA/11/2007 kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia untuk melakukan penyitaan terhadap buku tersebut dan melakukan operasi intelejen untuk tindakan penyitaan terhadap barang cetakan tersebut, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang tidak mentaatinya. Pelarangan terhadap buku Wonda tersebut menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura Asri Agung Putra adalah karena memuat banyak hal yang mendiskreditkan Pemerintah dan berbau memecah-belah persatuan, diantaranya HIV/AIDS yang berkembang di Papua sengaja disebarkan secara terorganisir oleh Pemerintah dengan mendatangkan perempuan pelacur dari Jawa untuk memusnahkan orang Papua. Buku Wonda tersebut juga menyinggung program KB yang dikatakan untuk mengurangi penduduk Papua. Kejaksaan akan menindaklanjuti dengan mempelajari isi buku tersebut sebelum menentukan tindakan hukum selanjutnya.
Selanjutnya, di tahun 2008 juga terjadi penembakan terhadap seorang warga sipil, Opinus Tabuni, yang hingga hari ini belum diketahui siapa pelakunya. Peringatan Hari Masyarakat Pribumi di Wamena yang berujung penembakan Opinus ini bahkan menyeret panitia penyelenggaranya untuk diproses hukum berkaitan dengan kegiatan tersebut. Dan yang paling mutakhir adalah penangkapan Buchtar Tabuni dan Sebby Sembom karena dianggap mengorganisir demo 16 Oktober dan memasang spanduk yang berbunyi “Papua Zona Darurat” di makam Theys. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa kebebasan orang Papua untuk menyatakan pendapat masih mendapat pengawasan sangat ketat.
Sebagai negara pihak pada 6 (enam) dari 9 (sembilan) instrumen utama HAM internasional dan negara anggota dewan HAM yang telah secara resmi aktif mengundang berbagai mekanisme khusus dari PBB sejak tahun 1991, maka Indonesia tidak hanya memiliki kewajiban tetapi tanggung jawab moral untuk terus berupaya mengedepankan akuntabilitas dalam upaya pemajuan dan pelindungan HAM di tanah air.
Hari Maturbongs SH, Koordinator Kontras Papua yang juga salah seorang praktisi hukum ketika ditemui JUBI mengatakan kalau, penegakan HAM di Papua meskipun kecil namun akhir-akhir ini sudah sedikit mengalami kemajuan dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Dibentuknya UU Otonomi Khusus tahun 2001 yang disisi lain Kontras Papua juga turut serta mendorong terbentuknya perwakilan Komnas HAM.
Disinggung mengenai adanya kompilasi rekomendasi dari hasil kunjungan beberapa perwakilan PBB ke tanah Papua, dikatakan Hari Maturbong sebagai bentuk yang positif dan baik untuk memulai sebuah agenda baru tentang penegakan berbagai persoalan HAM.
“Untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM lebih jauh dimasa mendatang, diharapkan pemerintah pusat dan daerah harus terbuka dengan melihat semua peristiwa masa lalu. Selain itu langkah kedepan juga harus segera dibentuk peradilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua dengan terbuka” ujarnya.
Menurutnya. pemerintah harus mencari ide dan metode guna mencarikan solusi penyelesaian setiap pelanggaran yang pernah terjadi. Sebab kalau tidak demikian meskipun ada kemajuan namun di tingkat implementasi masih dianggap banyak masyarakat masih nihil.
Banyaknya kasus-kasus yang terjadi namun belum dapat diselesaikan seperti kematian pemimpin Presediun Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay bersama hilangnya sang sopir Aristoteles Masoka hingga kini belum mendapat kejelasan sehingga belum mendapat kepuasan soal penyelesaian bagi masyarakat.
Hari juga mempertanyakan soal perwakilan Komnas HAM Papua, Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi tanggungjawab siapa. Pembentukan ketiga instrumen diatas sebagai bentuk lembaga solusi atas penyelesaian kasus yang ada di Papua. Namun hingga kini ketiganya sama sekali dianggap belum mempunyai peran yang cukup signifikan dan bahkan belum ada di Papua untuk menjawab persoalan HAM.
Padahal imbuhnya, ada tiga contoh kasus yang telah diputuskan oleh Komnas HAM RI berdasarkan hasil penyelidikan terdapat pelanggaran HAM berat. Ketiga kasus tersebut yakni, Kasus Abepura, Wasior dan Kasus pasca pembobolan gudang senjata di Wamena. Dari ketiga kasus tersebut hanya kasus Abepura yang sudah disidangkan namun keputusannya sangat tidak memberikan rasa keadilan bagi para korbannya.
Sampai saat ini ketiga lembaga diatas masih menjadi tanda tanya, secara hukum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang No.26 Tahun 2000 dan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 memberikan ruang. Bahkan UU otonomi Khusus secara spesific telah menyebutkan dimana ketiga lembaga tersebut menjadi prioritas bagi pemerintah untuk mengadvokasi secara detail keberadaan lembaga itu.
Perwakilan Komnas HAM Papua meskipun telah ada sejak tahun 2003 di periode pertama telah berakhir dan saat ini mengalami kevakuman. Artinya komisioner perwakilan Komnas HAM Papua sekarang kalau mau dikatakan sudah tidak ada. Sebab lembaga ada tetapi orangnya tidak ada. Padahal ada berbagai kasus yang tengah membutuhkan tindakan advokasi oleh lembaga perwakilan ini.
Untuk itulah Kontras Papua mendesak kepada Komnas HAM RI untuk bertanggung jawab terhadap perwakilannya. Kemudian pemerintah daerah, DPRP dan MRP harus lebih berinisiatif untuk memikirkan keberadaan ketiga lembaga ini sebagai amanah UU otonomi Khusus bagi Papua. (Anang Budiono/Victor Mambor
Upaya mengumpulkan seluruh rekomendasi yang telah diberikan kepada Indonesia oleh sejumlah Treaty Bodies dan mekanisme khusus HAM PBB serta kelompok kerja Universal Periodic Review (UPR) PBB merupakan langkah penting dalam proses evaluasi terhadap kemajuan yang telah dicapai dan hambatan yang dihadapi dalam rangka penerapan berbagai norma dan standar HAM yang selama ini telah dan tengah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Perwakilan Deplu dalam uraian buku informasi yang berjudul kompilasi rekomendasi terhadap Indonesia oleh mekanisme HAM PBB, dihadapan para wartawan Jayapura yang berlangsung di Swisbell Hotel beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa bahwa, dicanangkannya Ran-Ham (Rencana Aksi Nasional HAM) 2004-2009 adalah Pertama, membentuk dan memperkuat kelembagaan untuk melaksanakan Ran-Ham. Kedua, mempersiapkan ratifikasi instrumen HAM Internasional. Ketiga, persiapan harmonisasi legislasi-legislasi yang relevan. Keempat, diseminasi dan pendidikan HAM. Kelima, pelaksanaan norma-norma dan standar HAM serta Enam, monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Khusus untuk Papua banyaknya pelaporan tentang adanya pelanggaran HAM yang telah dihimpun pada kunjungan utusan khusus PBB diantaranya, Mrs. Hina Jilani ke Indonesia pada 5-13 Juni 2007 yang kemudian disusul oleh special Rapporteur On Turture, Mr. Manfredd Nowak pada November 2007 lalu memunculkan rekomendasi dan mekanisme penanganan yang lebih serius lagi.
Ini merupakan sebuah langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi kemajuan-kemajuan tersebut di atas tidak menutup masih banyaknya kasus kekerasan terhadap HRD di pertengahan tahun 2007 hingga 2008, terutama di daerah konflik seperti Papua, Aceh dan Ambon. Stigmatisasi sebagai separatis masih saja melekat di ketiga daerah tersebut dan menjadi justifikasi bagi aparat untuk melakukan tindak kekerasan terhadap HRD. Seperti yang dialami 11 orang pengurus Dewan Adat Papua yang diperiksa aparat Polda Papua pada tanggal 6 Juli 2007 terkait pembentangan bendera bintang kejora pada tarian Sampari yang ditarikan pada pembukaan acara Konferensi Dewan Adat Papua.
Isu separatisme juga menjadi alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk secara massive melakukan deployment pasukan ke Papua agar dapat tetap mempertahankan wilayah NKRI. Tetapi pengiriman pasukan tersebut ternyata tidak sejalan dengan terjaminnya rasa aman masyarakat Papua karena masyarakat justru merasa was-was dan ketakutan. Pastor John Djonga, seorang pastor Katholik yang bertugas di wilayah perbatasan RI-Papua New Guinea di distrik Waris-Kabupaten Keerom, Papua yang mencoba menyuarakan keberatan masyarakat terhadap droping pasukan keamanan justru mendapat ancaman serius.
Ketakutan “separatisme Papua” memang masih menghantui Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu salah satu hak rakyat Papua yang selalu mendapat pengawasan ketat dari Pemerintah adalah kebebasan menyatakan pendapat. Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-123/A/JA/11/2007 telah melarang beredarnya buku karangan Sendius Wonda, S.H., M.Si berjudul “Tenggelamnya Rumpun Melanesia; Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat”. Jaksa Agung juga mengeluarkan instruksi no. INS-004/1/JA/11/2007 kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia untuk melakukan penyitaan terhadap buku tersebut dan melakukan operasi intelejen untuk tindakan penyitaan terhadap barang cetakan tersebut, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang tidak mentaatinya. Pelarangan terhadap buku Wonda tersebut menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura Asri Agung Putra adalah karena memuat banyak hal yang mendiskreditkan Pemerintah dan berbau memecah-belah persatuan, diantaranya HIV/AIDS yang berkembang di Papua sengaja disebarkan secara terorganisir oleh Pemerintah dengan mendatangkan perempuan pelacur dari Jawa untuk memusnahkan orang Papua. Buku Wonda tersebut juga menyinggung program KB yang dikatakan untuk mengurangi penduduk Papua. Kejaksaan akan menindaklanjuti dengan mempelajari isi buku tersebut sebelum menentukan tindakan hukum selanjutnya.
Selanjutnya, di tahun 2008 juga terjadi penembakan terhadap seorang warga sipil, Opinus Tabuni, yang hingga hari ini belum diketahui siapa pelakunya. Peringatan Hari Masyarakat Pribumi di Wamena yang berujung penembakan Opinus ini bahkan menyeret panitia penyelenggaranya untuk diproses hukum berkaitan dengan kegiatan tersebut. Dan yang paling mutakhir adalah penangkapan Buchtar Tabuni dan Sebby Sembom karena dianggap mengorganisir demo 16 Oktober dan memasang spanduk yang berbunyi “Papua Zona Darurat” di makam Theys. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa kebebasan orang Papua untuk menyatakan pendapat masih mendapat pengawasan sangat ketat.
Sebagai negara pihak pada 6 (enam) dari 9 (sembilan) instrumen utama HAM internasional dan negara anggota dewan HAM yang telah secara resmi aktif mengundang berbagai mekanisme khusus dari PBB sejak tahun 1991, maka Indonesia tidak hanya memiliki kewajiban tetapi tanggung jawab moral untuk terus berupaya mengedepankan akuntabilitas dalam upaya pemajuan dan pelindungan HAM di tanah air.
Hari Maturbongs SH, Koordinator Kontras Papua yang juga salah seorang praktisi hukum ketika ditemui JUBI mengatakan kalau, penegakan HAM di Papua meskipun kecil namun akhir-akhir ini sudah sedikit mengalami kemajuan dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Dibentuknya UU Otonomi Khusus tahun 2001 yang disisi lain Kontras Papua juga turut serta mendorong terbentuknya perwakilan Komnas HAM.
Disinggung mengenai adanya kompilasi rekomendasi dari hasil kunjungan beberapa perwakilan PBB ke tanah Papua, dikatakan Hari Maturbong sebagai bentuk yang positif dan baik untuk memulai sebuah agenda baru tentang penegakan berbagai persoalan HAM.
“Untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM lebih jauh dimasa mendatang, diharapkan pemerintah pusat dan daerah harus terbuka dengan melihat semua peristiwa masa lalu. Selain itu langkah kedepan juga harus segera dibentuk peradilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua dengan terbuka” ujarnya.
Menurutnya. pemerintah harus mencari ide dan metode guna mencarikan solusi penyelesaian setiap pelanggaran yang pernah terjadi. Sebab kalau tidak demikian meskipun ada kemajuan namun di tingkat implementasi masih dianggap banyak masyarakat masih nihil.
Banyaknya kasus-kasus yang terjadi namun belum dapat diselesaikan seperti kematian pemimpin Presediun Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay bersama hilangnya sang sopir Aristoteles Masoka hingga kini belum mendapat kejelasan sehingga belum mendapat kepuasan soal penyelesaian bagi masyarakat.
Hari juga mempertanyakan soal perwakilan Komnas HAM Papua, Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi tanggungjawab siapa. Pembentukan ketiga instrumen diatas sebagai bentuk lembaga solusi atas penyelesaian kasus yang ada di Papua. Namun hingga kini ketiganya sama sekali dianggap belum mempunyai peran yang cukup signifikan dan bahkan belum ada di Papua untuk menjawab persoalan HAM.
Padahal imbuhnya, ada tiga contoh kasus yang telah diputuskan oleh Komnas HAM RI berdasarkan hasil penyelidikan terdapat pelanggaran HAM berat. Ketiga kasus tersebut yakni, Kasus Abepura, Wasior dan Kasus pasca pembobolan gudang senjata di Wamena. Dari ketiga kasus tersebut hanya kasus Abepura yang sudah disidangkan namun keputusannya sangat tidak memberikan rasa keadilan bagi para korbannya.
Sampai saat ini ketiga lembaga diatas masih menjadi tanda tanya, secara hukum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang No.26 Tahun 2000 dan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 memberikan ruang. Bahkan UU otonomi Khusus secara spesific telah menyebutkan dimana ketiga lembaga tersebut menjadi prioritas bagi pemerintah untuk mengadvokasi secara detail keberadaan lembaga itu.
Perwakilan Komnas HAM Papua meskipun telah ada sejak tahun 2003 di periode pertama telah berakhir dan saat ini mengalami kevakuman. Artinya komisioner perwakilan Komnas HAM Papua sekarang kalau mau dikatakan sudah tidak ada. Sebab lembaga ada tetapi orangnya tidak ada. Padahal ada berbagai kasus yang tengah membutuhkan tindakan advokasi oleh lembaga perwakilan ini.
Untuk itulah Kontras Papua mendesak kepada Komnas HAM RI untuk bertanggung jawab terhadap perwakilannya. Kemudian pemerintah daerah, DPRP dan MRP harus lebih berinisiatif untuk memikirkan keberadaan ketiga lembaga ini sebagai amanah UU otonomi Khusus bagi Papua. (Anang Budiono/Victor Mambor