JAYAPURA-Pada 13 September kemarin, dikenal sebagai Hari Hak Azasi Manusia Internasional bagi Bangsa Pribumi se-Dunia. Hal itu sesuai dengan deklarasi PBB 13 September 2007 lalu.
Terkait hal ini, Dewan Adat Papua (DAP) sebagai masyarakat pribumi turut memperingati ulang tahun ke-3 Hari Hak Azasi Manusia Internasional bagi Bangsa Pribumi se-Dunia tersebut.
Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut,S.Pd, mengatakan, tema yang diangkat adalah "Mari Kita Selamakan Tanah dan Orang Asli Papua". Tema ini menjadi suatu seruan tentang penyelamatan tanah dan orang asli papua, bangsa Papua, rumpun Melanesia, ras Negroid yang masih tersisa 1,2 juta jiwa dari creeping genoside (pemusnahan secara merangkak perlahan-lahan) dan dari kehancuran tanah Papua menuju Papua baru.
Seruan penyelamatan tanah dan orang asli Papua terdiri dari 8 bagian yaitu, penyelamatan tanah Papua, penyelamatan jiwa orang asli Papua dari creeping genoside, perilaku orang asli Papua yang berakibat creeping genoside, penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA), penyelamatan hutan, penyelamatan kampung-kampung tradisional, masa depan orang asli Papua, permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan akan dihadapi orang asli Papua.
Pokok-pokok seruan sebagaimana diungkapkan itu, sebagai pengingat dan peringatan untuk harus diingat dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Papua. Pertama, keselamatan dan masa depan orang Papua ada di tangan orang Papua sendiri. Sebab ancaman kematian kian semakin menyata dimana masyarakat adat ditembak, dibunuh, diculik, ditangkap, dipenjarakan, mati kelaparan, menderita dan mati karena sakit dan penyakit.
Kedua, dilihat dari perkembangan jumlah penduduk di tanah Papua pada saat menjelang pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969, jumlah penduduk asli Papua lebih kurang 800.000 jiwa dan sampai dengan pada tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua berjumlah 1, 2 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan dengan Negara tetangga PNG (Papua New Guinea) pada saat merdeka pada tahun 1975, jumlah penduduk 700.000 jiwa dan pada tahun 2007, negara tetangga tersebut jumlah penduduknya sekitar 7 juta jiwa.
Ini pertanda bahwa pertumbuhan penduduk orang asli Papua di Papua Barat tidak bertambah secara signifikan dalam kurun waktu yang sama. Bertolak dari perbedaan jumlah penduduk yang amat mencolok di atas menyatakan sejak integrasi hingga saat ini terindikasi telah, sedang dan akan terjadi creeping genoside pada orang asli Papua. Hal ini dapat menyata dengan telah terjadinya berbagai operasi tumpas yang dilakukan oleh militer secara langsung semenjak 1 Mei 1963-1998, pembunuhan kilat, penembakan, penculikan, penangkapan dan pemenjarahan sewenang-wenang, pembunuhan psikis dengan Tuhan separatis, makar dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Disamping itu, masyarakat adat Papua juga dibunuh dengan cara diracuni melalui makanan dan minuman, minuman keras, pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan meninggal karena kelaparan dan penyakit HIV/AIDS. Akibatnya, populasi penduduk asli Papua semakin terancam.
Sebuah paper penelitian yang sampaikan dalam Indonesian Solidarity an the West Papua Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia yang disampaikan oleh Dr. Jim Elmslie menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada tahun 2020. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030. Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15.2% dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1:6,5. Oleh karena itu, masyarakat adat tanpa terkecuali di semua level dan tingkatan harus menyelematkan diri terlebih dahulu dari ancaman kematian dan dari berbagai proses ketidakadilan yang dialami.
Ketiga, eksploitasi SDA terus terjadi di tanah Papua. Masyarakat adat mati di atas kekayaan alam (emas), sementara kaum pemodal dan penguasa menari-nari di atas tulang belulang dan darah masyarakat adat Papua. Eksploitasi tambang tembaga dan emas oleh PT. Freeport dan gas alam oleh Brithis Petrolium di Babo Bintuni, perusahaan gas di Sorong serta berbagai perusahaan lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dielakan. Demikian pula dengan pengeksploitasian hutan yang terus dilakukan secara legal maupun illegal.
Keempat, dalam pandangan dasar hidup masyarakat adat Papua, tanah adalah mama yang melahirkan, memberi makan, hidup dan beranak cucu. Karena itu tanah sesungguhnya milik komunitas dan bukan milik pribadi tertentu. Tanah bagi masyarakat Adat Papua memiliki nilai ekomis dan religi.
"Soal tanah adat kami DAP serukan penyadaran dulu, nanti kami tindaklanjuti dengan aturan," ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor DAP, Minggu, (13/9).
Secara iman (secara khusus Kristiani) tanah adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada setiap bangsa dengan batasnya untuk keberlangsungan hidup mereka (Lih. Kitab Ulangan 19:13 dan 27:17). Lahan produktif pertanian tidak lagi dialihfungsikan untuk perumahan, penanaman kelapa sawit, lahan industri namun dilindungi demi keberlangsungan hidup masyarakat Adat Papua. Oleh karena itu, diserukan kepada orang asli Papua supaya tanah hak milik Masyarakat Adat Papua jangan dijual lagi namun disewakan atau dikontrakkan bagi pemodal dan pengguna lainnya.
Kelima, secara ekonomi masyarakat adat terus semakin tersisih. Tempat-tempat sentral di kota-kota, tanah semua dikuasai oleh pemodal yang nota benenya warga migran. Mereka mendirikan ruko-ruko, supermarket dan sentra-sentra ekonomi dimana-mana. Akibatnya masyarakat adat tidak mendapatkan tempat yang layak dan manusiawi.
Keenam, semakin derasnya arus perubahan dan tidak adanya perhatian dari semua pihak dalam memelihara serta melestarikan kampung-kampung tradisional dengan segala sistem dan nilai pemerintahan tradisional semakin hilang dan musnah. Hak hidup dan kebebasan masyarakat adat Papua semakin terancam. Pemerintah melalui aparat penegak hukum terus melakukan pembungkaman hak dan kebebasan bagi masyarakat adat Papua. Sebaliknya apa yang menjadi tanggungjawab aparat belum secara serius mengungkapkan tuntutan masyarakat adat.
Beberapa persoalan yang patut disebutkan ialah pelaku penembakan Opinus Tabuni yang tertempak pada tanggal 9 Agustus 2009 di Lapangan Sinapuk Wamena pada saat memperingati hari Internasional Masyarakat Pribumi. Demikian pula proses hukum pelaku penculikan Theys Hiyo Eluay dan sopirnya Aristoteles Masoka serta berbagai kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Bertolak dari keprihatinan sebagaimana diungkapkan di atas, guna mengakhiri dan menyelamatkan masyarakat adat Papua maka ia menyuarakan dan menyatakan sikap, bahwa, seluruh masyarakat adat untuk saling bahu membahu membangun kekeluargaan, persatuan, persaudaraan sebagai sesama anak adat Papua untuk menyelamatkan diri dan tanah Papua dari ancaman kepunahan.
Berikutnya, berjuang agar mencapai kesadaran bahwa semua orang adalah satu bangsa yakni bangsa Papua, rumpun melanesia dan ras negroid di pasifik dan bukan bangsa Indonesia, rumpun Melayu dari Yunan Kamboja.
"Pemerintah Indonesia, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-bangsa, Pemerintah Belanda untuk segera membuka diri guna dilakukannya dialog internasional atau referendum bagi penyelesaian dan penyelamatan masyarakat adat Papua dari krisis kemanusiaan dan ancaman pemusnahan yang semakin menyata," tegasnya.
Tentang, penembakan di Timika, jika dilihat modusnya sama dengan penembakan warga Amerika Serikat beberapa bulan lalu, hanya saja dalam akhir-akhir ini intensitasnya meningkat, dan jelas ini mungkin saja dilakukan oleh agen provokator yang sama, karena mereka yang menembak itu adalah orang yang terlatih dalam menembak maupun menghilangkan jejaknya.
"Saya pernah bilang bahwa coba OPM ditarik dan pasukan juga ditarik, dan dilihat siapa dalang dari aksi penembakan itu. Ini skenario yang sudah diatur agar membungkam masyarakat yang memperjuangkan haknya pada PT. Freeport itu, karena tidak mau kue yang sama dibagi, maka dibuatlah aksi-aksi penembakan itu, supaya masyarakat adat ditangkap, diintimidasi supaya jangan berteriak lagi. Mana ada masyarakat adat punya senjata," terangnya.(nls/fud
Terkait hal ini, Dewan Adat Papua (DAP) sebagai masyarakat pribumi turut memperingati ulang tahun ke-3 Hari Hak Azasi Manusia Internasional bagi Bangsa Pribumi se-Dunia tersebut.
Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut,S.Pd, mengatakan, tema yang diangkat adalah "Mari Kita Selamakan Tanah dan Orang Asli Papua". Tema ini menjadi suatu seruan tentang penyelamatan tanah dan orang asli papua, bangsa Papua, rumpun Melanesia, ras Negroid yang masih tersisa 1,2 juta jiwa dari creeping genoside (pemusnahan secara merangkak perlahan-lahan) dan dari kehancuran tanah Papua menuju Papua baru.
Seruan penyelamatan tanah dan orang asli Papua terdiri dari 8 bagian yaitu, penyelamatan tanah Papua, penyelamatan jiwa orang asli Papua dari creeping genoside, perilaku orang asli Papua yang berakibat creeping genoside, penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA), penyelamatan hutan, penyelamatan kampung-kampung tradisional, masa depan orang asli Papua, permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan akan dihadapi orang asli Papua.
Pokok-pokok seruan sebagaimana diungkapkan itu, sebagai pengingat dan peringatan untuk harus diingat dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Papua. Pertama, keselamatan dan masa depan orang Papua ada di tangan orang Papua sendiri. Sebab ancaman kematian kian semakin menyata dimana masyarakat adat ditembak, dibunuh, diculik, ditangkap, dipenjarakan, mati kelaparan, menderita dan mati karena sakit dan penyakit.
Kedua, dilihat dari perkembangan jumlah penduduk di tanah Papua pada saat menjelang pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969, jumlah penduduk asli Papua lebih kurang 800.000 jiwa dan sampai dengan pada tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua berjumlah 1, 2 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan dengan Negara tetangga PNG (Papua New Guinea) pada saat merdeka pada tahun 1975, jumlah penduduk 700.000 jiwa dan pada tahun 2007, negara tetangga tersebut jumlah penduduknya sekitar 7 juta jiwa.
Ini pertanda bahwa pertumbuhan penduduk orang asli Papua di Papua Barat tidak bertambah secara signifikan dalam kurun waktu yang sama. Bertolak dari perbedaan jumlah penduduk yang amat mencolok di atas menyatakan sejak integrasi hingga saat ini terindikasi telah, sedang dan akan terjadi creeping genoside pada orang asli Papua. Hal ini dapat menyata dengan telah terjadinya berbagai operasi tumpas yang dilakukan oleh militer secara langsung semenjak 1 Mei 1963-1998, pembunuhan kilat, penembakan, penculikan, penangkapan dan pemenjarahan sewenang-wenang, pembunuhan psikis dengan Tuhan separatis, makar dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Disamping itu, masyarakat adat Papua juga dibunuh dengan cara diracuni melalui makanan dan minuman, minuman keras, pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan meninggal karena kelaparan dan penyakit HIV/AIDS. Akibatnya, populasi penduduk asli Papua semakin terancam.
Sebuah paper penelitian yang sampaikan dalam Indonesian Solidarity an the West Papua Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia yang disampaikan oleh Dr. Jim Elmslie menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada tahun 2020. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030. Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15.2% dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1:6,5. Oleh karena itu, masyarakat adat tanpa terkecuali di semua level dan tingkatan harus menyelematkan diri terlebih dahulu dari ancaman kematian dan dari berbagai proses ketidakadilan yang dialami.
Ketiga, eksploitasi SDA terus terjadi di tanah Papua. Masyarakat adat mati di atas kekayaan alam (emas), sementara kaum pemodal dan penguasa menari-nari di atas tulang belulang dan darah masyarakat adat Papua. Eksploitasi tambang tembaga dan emas oleh PT. Freeport dan gas alam oleh Brithis Petrolium di Babo Bintuni, perusahaan gas di Sorong serta berbagai perusahaan lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dielakan. Demikian pula dengan pengeksploitasian hutan yang terus dilakukan secara legal maupun illegal.
Keempat, dalam pandangan dasar hidup masyarakat adat Papua, tanah adalah mama yang melahirkan, memberi makan, hidup dan beranak cucu. Karena itu tanah sesungguhnya milik komunitas dan bukan milik pribadi tertentu. Tanah bagi masyarakat Adat Papua memiliki nilai ekomis dan religi.
"Soal tanah adat kami DAP serukan penyadaran dulu, nanti kami tindaklanjuti dengan aturan," ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor DAP, Minggu, (13/9).
Secara iman (secara khusus Kristiani) tanah adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada setiap bangsa dengan batasnya untuk keberlangsungan hidup mereka (Lih. Kitab Ulangan 19:13 dan 27:17). Lahan produktif pertanian tidak lagi dialihfungsikan untuk perumahan, penanaman kelapa sawit, lahan industri namun dilindungi demi keberlangsungan hidup masyarakat Adat Papua. Oleh karena itu, diserukan kepada orang asli Papua supaya tanah hak milik Masyarakat Adat Papua jangan dijual lagi namun disewakan atau dikontrakkan bagi pemodal dan pengguna lainnya.
Kelima, secara ekonomi masyarakat adat terus semakin tersisih. Tempat-tempat sentral di kota-kota, tanah semua dikuasai oleh pemodal yang nota benenya warga migran. Mereka mendirikan ruko-ruko, supermarket dan sentra-sentra ekonomi dimana-mana. Akibatnya masyarakat adat tidak mendapatkan tempat yang layak dan manusiawi.
Keenam, semakin derasnya arus perubahan dan tidak adanya perhatian dari semua pihak dalam memelihara serta melestarikan kampung-kampung tradisional dengan segala sistem dan nilai pemerintahan tradisional semakin hilang dan musnah. Hak hidup dan kebebasan masyarakat adat Papua semakin terancam. Pemerintah melalui aparat penegak hukum terus melakukan pembungkaman hak dan kebebasan bagi masyarakat adat Papua. Sebaliknya apa yang menjadi tanggungjawab aparat belum secara serius mengungkapkan tuntutan masyarakat adat.
Beberapa persoalan yang patut disebutkan ialah pelaku penembakan Opinus Tabuni yang tertempak pada tanggal 9 Agustus 2009 di Lapangan Sinapuk Wamena pada saat memperingati hari Internasional Masyarakat Pribumi. Demikian pula proses hukum pelaku penculikan Theys Hiyo Eluay dan sopirnya Aristoteles Masoka serta berbagai kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Bertolak dari keprihatinan sebagaimana diungkapkan di atas, guna mengakhiri dan menyelamatkan masyarakat adat Papua maka ia menyuarakan dan menyatakan sikap, bahwa, seluruh masyarakat adat untuk saling bahu membahu membangun kekeluargaan, persatuan, persaudaraan sebagai sesama anak adat Papua untuk menyelamatkan diri dan tanah Papua dari ancaman kepunahan.
Berikutnya, berjuang agar mencapai kesadaran bahwa semua orang adalah satu bangsa yakni bangsa Papua, rumpun melanesia dan ras negroid di pasifik dan bukan bangsa Indonesia, rumpun Melayu dari Yunan Kamboja.
"Pemerintah Indonesia, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-bangsa, Pemerintah Belanda untuk segera membuka diri guna dilakukannya dialog internasional atau referendum bagi penyelesaian dan penyelamatan masyarakat adat Papua dari krisis kemanusiaan dan ancaman pemusnahan yang semakin menyata," tegasnya.
Tentang, penembakan di Timika, jika dilihat modusnya sama dengan penembakan warga Amerika Serikat beberapa bulan lalu, hanya saja dalam akhir-akhir ini intensitasnya meningkat, dan jelas ini mungkin saja dilakukan oleh agen provokator yang sama, karena mereka yang menembak itu adalah orang yang terlatih dalam menembak maupun menghilangkan jejaknya.
"Saya pernah bilang bahwa coba OPM ditarik dan pasukan juga ditarik, dan dilihat siapa dalang dari aksi penembakan itu. Ini skenario yang sudah diatur agar membungkam masyarakat yang memperjuangkan haknya pada PT. Freeport itu, karena tidak mau kue yang sama dibagi, maka dibuatlah aksi-aksi penembakan itu, supaya masyarakat adat ditangkap, diintimidasi supaya jangan berteriak lagi. Mana ada masyarakat adat punya senjata," terangnya.(nls/fud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar