Kamis, 17 September 2009

Catatan Situasi HAM di Papua Pasca Kunjungan Pelapor Khusus PBB

19 Januari 2009

JUBI - Kunjungan beberapa perwakilan PBB ke tanah Papua kini dituangkan dalam bentuk buku berisi kompilasi rekomendasi terhadap Indonesia oleh mekanisme HAM PBB.

Upaya mengumpulkan seluruh rekomendasi yang telah diberikan kepada Indonesia oleh sejumlah Treaty Bodies dan mekanisme khusus HAM PBB serta kelompok kerja Universal Periodic Review (UPR) PBB merupakan langkah penting dalam proses evaluasi terhadap kemajuan yang telah dicapai dan hambatan yang dihadapi dalam rangka penerapan berbagai norma dan standar HAM yang selama ini telah dan tengah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Perwakilan Deplu dalam uraian buku informasi yang berjudul kompilasi rekomendasi terhadap Indonesia oleh mekanisme HAM PBB, dihadapan para wartawan Jayapura yang berlangsung di Swisbell Hotel beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa bahwa, dicanangkannya Ran-Ham (Rencana Aksi Nasional HAM) 2004-2009 adalah Pertama, membentuk dan memperkuat kelembagaan untuk melaksanakan Ran-Ham. Kedua, mempersiapkan ratifikasi instrumen HAM Internasional. Ketiga, persiapan harmonisasi legislasi-legislasi yang relevan. Keempat, diseminasi dan pendidikan HAM. Kelima, pelaksanaan norma-norma dan standar HAM serta Enam, monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Khusus untuk Papua banyaknya pelaporan tentang adanya pelanggaran HAM yang telah dihimpun pada kunjungan utusan khusus PBB diantaranya, Mrs. Hina Jilani ke Indonesia pada 5-13 Juni 2007 yang kemudian disusul oleh special Rapporteur On Turture, Mr. Manfredd Nowak pada November 2007 lalu memunculkan rekomendasi dan mekanisme penanganan yang lebih serius lagi.
Ini merupakan sebuah langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi kemajuan-kemajuan tersebut di atas tidak menutup masih banyaknya kasus kekerasan terhadap HRD di pertengahan tahun 2007 hingga 2008, terutama di daerah konflik seperti Papua, Aceh dan Ambon. Stigmatisasi sebagai separatis masih saja melekat di ketiga daerah tersebut dan menjadi justifikasi bagi aparat untuk melakukan tindak kekerasan terhadap HRD. Seperti yang dialami 11 orang pengurus Dewan Adat Papua yang diperiksa aparat Polda Papua pada tanggal 6 Juli 2007 terkait pembentangan bendera bintang kejora pada tarian Sampari yang ditarikan pada pembukaan acara Konferensi Dewan Adat Papua.
Isu separatisme juga menjadi alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk secara massive melakukan deployment pasukan ke Papua agar dapat tetap mempertahankan wilayah NKRI. Tetapi pengiriman pasukan tersebut ternyata tidak sejalan dengan terjaminnya rasa aman masyarakat Papua karena masyarakat justru merasa was-was dan ketakutan. Pastor John Djonga, seorang pastor Katholik yang bertugas di wilayah perbatasan RI-Papua New Guinea di distrik Waris-Kabupaten Keerom, Papua yang mencoba menyuarakan keberatan masyarakat terhadap droping pasukan keamanan justru mendapat ancaman serius.
Ketakutan “separatisme Papua” memang masih menghantui Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu salah satu hak rakyat Papua yang selalu mendapat pengawasan ketat dari Pemerintah adalah kebebasan menyatakan pendapat. Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-123/A/JA/11/2007 telah melarang beredarnya buku karangan Sendius Wonda, S.H., M.Si berjudul “Tenggelamnya Rumpun Melanesia; Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat”. Jaksa Agung juga mengeluarkan instruksi no. INS-004/1/JA/11/2007 kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia untuk melakukan penyitaan terhadap buku tersebut dan melakukan operasi intelejen untuk tindakan penyitaan terhadap barang cetakan tersebut, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang tidak mentaatinya. Pelarangan terhadap buku Wonda tersebut menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura Asri Agung Putra adalah karena memuat banyak hal yang mendiskreditkan Pemerintah dan berbau memecah-belah persatuan, diantaranya HIV/AIDS yang berkembang di Papua sengaja disebarkan secara terorganisir oleh Pemerintah dengan mendatangkan perempuan pelacur dari Jawa untuk memusnahkan orang Papua. Buku Wonda tersebut juga menyinggung program KB yang dikatakan untuk mengurangi penduduk Papua. Kejaksaan akan menindaklanjuti dengan mempelajari isi buku tersebut sebelum menentukan tindakan hukum selanjutnya.
Selanjutnya, di tahun 2008 juga terjadi penembakan terhadap seorang warga sipil, Opinus Tabuni, yang hingga hari ini belum diketahui siapa pelakunya. Peringatan Hari Masyarakat Pribumi di Wamena yang berujung penembakan Opinus ini bahkan menyeret panitia penyelenggaranya untuk diproses hukum berkaitan dengan kegiatan tersebut. Dan yang paling mutakhir adalah penangkapan Buchtar Tabuni dan Sebby Sembom karena dianggap mengorganisir demo 16 Oktober dan memasang spanduk yang berbunyi “Papua Zona Darurat” di makam Theys. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa kebebasan orang Papua untuk menyatakan pendapat masih mendapat pengawasan sangat ketat.
Sebagai negara pihak pada 6 (enam) dari 9 (sembilan) instrumen utama HAM internasional dan negara anggota dewan HAM yang telah secara resmi aktif mengundang berbagai mekanisme khusus dari PBB sejak tahun 1991, maka Indonesia tidak hanya memiliki kewajiban tetapi tanggung jawab moral untuk terus berupaya mengedepankan akuntabilitas dalam upaya pemajuan dan pelindungan HAM di tanah air.
Hari Maturbongs SH, Koordinator Kontras Papua yang juga salah seorang praktisi hukum ketika ditemui JUBI mengatakan kalau, penegakan HAM di Papua meskipun kecil namun akhir-akhir ini sudah sedikit mengalami kemajuan dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Dibentuknya UU Otonomi Khusus tahun 2001 yang disisi lain Kontras Papua juga turut serta mendorong terbentuknya perwakilan Komnas HAM.
Disinggung mengenai adanya kompilasi rekomendasi dari hasil kunjungan beberapa perwakilan PBB ke tanah Papua, dikatakan Hari Maturbong sebagai bentuk yang positif dan baik untuk memulai sebuah agenda baru tentang penegakan berbagai persoalan HAM.
“Untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM lebih jauh dimasa mendatang, diharapkan pemerintah pusat dan daerah harus terbuka dengan melihat semua peristiwa masa lalu. Selain itu langkah kedepan juga harus segera dibentuk peradilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua dengan terbuka” ujarnya.
Menurutnya. pemerintah harus mencari ide dan metode guna mencarikan solusi penyelesaian setiap pelanggaran yang pernah terjadi. Sebab kalau tidak demikian meskipun ada kemajuan namun di tingkat implementasi masih dianggap banyak masyarakat masih nihil.
Banyaknya kasus-kasus yang terjadi namun belum dapat diselesaikan seperti kematian pemimpin Presediun Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay bersama hilangnya sang sopir Aristoteles Masoka hingga kini belum mendapat kejelasan sehingga belum mendapat kepuasan soal penyelesaian bagi masyarakat.
Hari juga mempertanyakan soal perwakilan Komnas HAM Papua, Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi tanggungjawab siapa. Pembentukan ketiga instrumen diatas sebagai bentuk lembaga solusi atas penyelesaian kasus yang ada di Papua. Namun hingga kini ketiganya sama sekali dianggap belum mempunyai peran yang cukup signifikan dan bahkan belum ada di Papua untuk menjawab persoalan HAM.
Padahal imbuhnya, ada tiga contoh kasus yang telah diputuskan oleh Komnas HAM RI berdasarkan hasil penyelidikan terdapat pelanggaran HAM berat. Ketiga kasus tersebut yakni, Kasus Abepura, Wasior dan Kasus pasca pembobolan gudang senjata di Wamena. Dari ketiga kasus tersebut hanya kasus Abepura yang sudah disidangkan namun keputusannya sangat tidak memberikan rasa keadilan bagi para korbannya.
Sampai saat ini ketiga lembaga diatas masih menjadi tanda tanya, secara hukum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang No.26 Tahun 2000 dan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 memberikan ruang. Bahkan UU otonomi Khusus secara spesific telah menyebutkan dimana ketiga lembaga tersebut menjadi prioritas bagi pemerintah untuk mengadvokasi secara detail keberadaan lembaga itu.
Perwakilan Komnas HAM Papua meskipun telah ada sejak tahun 2003 di periode pertama telah berakhir dan saat ini mengalami kevakuman. Artinya komisioner perwakilan Komnas HAM Papua sekarang kalau mau dikatakan sudah tidak ada. Sebab lembaga ada tetapi orangnya tidak ada. Padahal ada berbagai kasus yang tengah membutuhkan tindakan advokasi oleh lembaga perwakilan ini.
Untuk itulah Kontras Papua mendesak kepada Komnas HAM RI untuk bertanggung jawab terhadap perwakilannya. Kemudian pemerintah daerah, DPRP dan MRP harus lebih berinisiatif untuk memikirkan keberadaan ketiga lembaga ini sebagai amanah UU otonomi Khusus bagi Papua. (Anang Budiono/Victor Mambor

Masyarakat Adat Papua; Menjadi Minoritas Di Atas Tanah Sendiri

19 Januari 2009

JUBI - Dalam forum Conferention of Parties (COP) XIV di Poznan, Polandia akhir tahun 2008 terjadi perdebatan negara-negara berkembang dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand mengenai masyarakat pribumi atau yang biasa kita sebut Masyarakat Adat. Empat negara maju tersebut menolak penggunaan “S” dalam kalimat “full end effective participation of Indigenous Peoples” pada skema Reduction Emitions from Deforestation and Degradation (REDD).

Peniadaan “S” dalam dokumen draft text Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) 29 agenda item 5 diduga oleh komunitas masyarakat pribumi sebagai upaya meniadakan hak-hak masyarakat adat dalam skema REDD. Dengan kata lain, mereka mengakui eksistensi Masyarakat Adat dalam perpektif individu, bukan komunal, sehingga tidak mengakui adanya hak-hak masyarakat adat yang diakui oleh PBB melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).
Pandangan empat negara maju ini mendapat protes yang sangat keras oleh sembilan orang pemimpin masyarakat pribumi yang mewakili kelompok masyarakat pribumi dari seluruh dunia dalam event tersebut. Sayangnya, pada tanggal 10 Desember, komunitas masyarakat pribumi ini juga ditolak untuk menyampaikan pandangan final mereka terhadap dokumen SBSTA tersebut.
“Ini sangat tidak fair. Mereka telah menghilangkan substansi yang menyebutkan bahwa masyarakat pribumi memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap keputusan yang akan diambil yang bisa mempengaruhi kehidupan diwilayah mereka.” ujar Vicky Torpuz, Chair of the UN Permanent Forum on Indigenous Issues.
Tidak diragukan lagi, ini bukan mengenai perdebatan semantika, tapi merupakan perdebatan antara visi kapitalis dan visi indigenous. Visi Kapitalis tentunya berpihak pada tradisi ekspansi kapital sebagai wujud baru kolonialisme dan tentu saja bertolak belakang dengan visi indigenous yang memiliki tradisi heritage. Belum lagi jika kita melihat sudut pandang masyarakat adat dimanapun mengenai dimensi kehidupan di sekitar mereka yang tidak lepas dari apa yang disebut masyarakat modern sebagai Sumber Daya Alam (SDA). Dan di sisi lain, SDA merupakan salah satu tujuan utama tradisi ekspansi yang dilakukan para kapitalis. Yang juga memisahkan SDA dari konteks alam yang dipahami oleh masyarakat adat sebagai satu kesatuan utuh dengan mereka. Sehingga bukanlah hal yang aneh jika masyarakat adat memandang tanah sebagai satu kesatuan utuh, baik apa yang ada di dalam tanah, di atas tanah hingga disekitarnya, termasuk manusia yang tinggal diatasnya. Di sini, apa yang kemudian disebut sebagai ancestral domain lebih rasional daripada apa yang dikenal sebagai ancestral land dalam hukum-hukum tentang tanah. Tidak ada kehidupan tanpa tanah. Itulah yang diyakini oleh masyarakat adat dimanapun mereka berada.
Perdebatan di atas, merupakan sebuah potret masyarakat internasional tentang masyarakat adat. Sebuah fakta yang juga terjadi di Papua sejak jaman kolonialisme Belanda hingga jaman Otsus ini. Konflik apapun di Papua ini bisa dipastikan bersumber dari SDA dan hak-hak masyarakat adat Papua. Misalnya dalam Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
“Bagi orang Papua tanah itu sangat penting karena sama dengan kehidupan manusia dan juga sebagai identitas dari setiap kelompok etnis yang memiliki wilayah tertentu.
Kalau ada pemanfaatan terhadap tanah itu oleh pihak lain maka itu akan menjadi persoalan besar. Karena setiap kelompok etnis mempunyai cara-cara tertentu untuk memanfaatkan tanah. Ada bagian-bagian yang dipakai untuk berkebun, ada bagian lain yang dibiarkan tetap hutan alami agar menjadi tempat tinggal hewan untuk berburu atau tempat mencari kayu untuk bahan-bahan membangun rumah. Jadi ada bagian-bagian tanah tertentu yang harus mereka tebang atau dijaga pelestariannya.” ujar J. Mansoben, Antropolog dari Universitas Cenderawasih, tentang fungsi tanah bagi orang Papua kepada Tabloid Jubi dalam salah satu wawancara dengannya.
Jika merujuk pada fungsi tanah bagi orang Papua yang disebutkan diatas, pasal dalam UU Pokok Agraria diatas tentunya meniadakan eksistensi masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum konsep negara diperkenalkan yang pastinya telah dan masih akan menimbulkan konflik antara negara dan masyarakat. Sengketa tanah antar masyarakat Papua maupun antara masyarakat dengan pihak lainnya merupakan wujud dari implementasi UU tersebut yang tidak memperhatikan nilai dan fungsi tanah bagi orang Papua.
Demikian juga dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang kemudian menjadi pintu masuk PT. Freeport Indonesia untuk melakukan eksplorasi di Timika tanpa sedikitpun menghargai eksistensi masyarakat Adat di wilayah tersebut. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada emas dan tembaga di Timika, tapi juga terjadi pada kekayaan lain masyarakat adat Papua seperti hutan, laut, gas alam, keanekaragaman hayati hingga kekayaan intelektual orang Papua. Dalam perspektif masyarakat adat ini lebih tepat disebut sebagai perampasan daripada sebuah pembangunan.
Di masa lalu, masyarakat adat Papua telah mengembangkan sistem distribusi SDA, ekonomi, dan politik berdasarkan hukum adat yang dimiliki oleh masing-masing komunitas. Misalnya kepemilikan komunal atas tanah mencerminkan pola demokratis dalam sistem distribusi SDA. Demikian juga dengan pola-pola kepemimpinan seperti Bigman dan Ondoafi yang mencerminkan sistem politik dalam hukum adat masyarakat Papua. Ondoafi ataupun Bigman, hancur sejak diterapkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeret sistem politik tradisional milik masyarakat Papua ke dalam sistem pemerintahan administratif desa.
Terseretnya “Self Governing Community” ini juga menyeret hak komunitas (termasuk tanah) dalam klaim negara. Sejak saat ini juga, komunitas masyarakat adat menjadi sub-ordinat dari pemerintahan desa yang bisa disebut sebagai proses “negaranisasi”. Ditambah lagi dengan tradisi kapitalis yang mulai merambah Papua, maka proses “negaranisasi” ini menjadi sebuah legitimasi politik penguasaan atas sumber daya alam milik masyarakat Papua. Hak masyarakat adat Papuapun menjadi hilang.
Jika mengutip pendapat Marx, semakin tampak ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber langka yang ada dalam suatu sistem sosial, maka akan terjadi kecenderungan yang semakin kuat ke arah konflik kepentingan antara segmen dominan dan sub-ordinat. Pendapat ini dipertegas oleh Jonathan Turner, seorang Profesor Teori Sosiologi dari University of California at Riverside (USA) bahwa semakin segmen sub-ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang sesungguhnya (true collective interests), semakin cenderung mereka mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber daya yang semakin langka.
Teori-teori ini menjadi sangat rasional jika masyarakat adat Papua merasa perlu menuntut kembali hak-hak mereka yang telah “dirampas” oleh negara maupun sektor swasta. Ironisnya, perbedaan perspektif antara negara dengan komunitas masyarakat adat tentang SDA ini seringkali menempatkan masyarakat adat Papua dalam ketidakadilan. Dalam pengalaman masyarakat adat Papua, ketidakadilan ini seringkali muncul dalam stigma separatis yang dimunculkan oleh negara. Selain itu, muncul juga dalam pengembangan opini/wacana tentang masyarakat adat Papua sebagai korban. Perspektif korban dalam memandang masyarakat Papua ini sangat tidak adil untuk sebuah komunitas yang memiliki kekayaan alam melimpah. Perspektif seperti ini bisa jadi akan meniadakan prinsip Self Determination masyarakat adat yang diakui dalam UNDRIP.
Lebih ironis lagi, status Otonomi Khusus yang diberikan untuk provinsi Papua yang bertujuan mulia untuk memajukan Papua lebih banyak diidentikan dengan uang. Berapa besar dana Otsus yang di dapat, berapa banyak yang dikorupsi, berapa banyak alokasinya untuk setiap sektor selalu menjadi topik utama dalam forum-forum tentang Otonomi Khusus Papua. Sementara substansi Otsus sendiri, yakni hak-hak dasar orang asli Papua, menjadi nomor kesekian. Suara-suara yang menginginkan penuntasan hak-hak dasar orang asli Papua ini juga seringkali dituding sebagai suara separatis.
Tidak mudah menempatkan masyarakat adat Papua dalam sebuah opini/wacana yang adil, terutama dalam perspektif pemilik kekayaan melimpah dan bukan dalam perspektif korban. Selain karena belum adanya regulasi nasional yang bisa mengarahkan perspektif masyarakat secara adil dalam memandang masyarakat adat, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak ekosob masyarakat adat Papua masih juga dipandang dalam perspektif sipil politik. Tidak hanya oleh negara tapi juga oleh aktor-aktor non negara lainnya. Fakta ini juga yang menjadi kendala untuk menyelesaikan persoalan-persoalan Papua pada “akarnya”. (Victor Mambor)

Sumber : Tabloidjubi.com

OPM Serang Pos Polisi Tingginambut

09 Januari 2009

Jayapura, (ANTARA News) - Pos Polisi Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, Kamis malam sekitar pukul 21.00 WIT diserang gerombolan pengacau keamanan (GPK) yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Akibatnya, empat pucuk senjata raib.

Sumber ANTARA di Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya mengungkapkan dalam insiden penyerangan itu selain menyebabkan empat pucuk senjata milik Polri hilang juga menyebabkan satu istri anggota yakni Irena Helen (21 th) menderita luka tusuk di dada sebelah kiri.

Korban yang merupakan istri dari Brigda Yan Ayub itu direncanakan dievakuasi ke Jayapura dengan menggunakan pesawat Susi Air.

Kapolda Papua Irjen Pol Bagus Eko Danto ketika ditanya wartawan, mengakui belum mengetahui tentang insiden tersebut.

"Saya baru memanggil Kapolresnya untuk menanyakan kasus tersebut," ungkap Kapolda Irjen Pol Eko Danto.

Sementara itu Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe yang dihubungi dari Jayapura mengakui, saat ini pihaknya baru selesai melakukan rapat koordinasi yang membahas masalah tersebut.

Walaupun situasi di kota Mulia dan sekitarnya yang berjarak sekitar satu jam setengah dengan menggunakan kendaraan itu relatif aman, ungkap Bupati Lukas Enembe.

Ketika ditanya tentang kelompok yang melakukan penyerangan, Bupati Enembe mengakui, pihaknya belum mengetahui dengan pasti, karena dikawasan itu ada dua kelompok OPM.

"Kami belum tahu apakah yang melakukan penyerangan itu dari kelompok Goliat Tabuni atau Anton Tabuni," aku Bupati Enembe.(*)

TENDA MAKAM THEYS DI BONGKAR

Aktivitas masyarakat yang mendirikan tenda serta pemasangan beberapa spanduk yang bertuliskan "Papua Zona Damai" dimulai sejak 1 Desember 2008 di lokasi Pemakaman Theis Eluway terkait dengan HUT Kemerdekaan Papua Barat akhirnya dibongkar tanpa ada perlawanan dari masyarakat yang selama ini tinggal didalam tenda tersebut

Pembongkaran tenda di lokasi makam Theis Eluway, Sabtu (31/1) dilakukan sesuai dengan instruksi Bupati Jayapura yang dilaksanakan oleh Satuan Pamong Praja dibawah pengawasan Satuan Brimop Polda Papua dan Satuan Polres Jayapura serta Kepala Distrik Sentani Kota Kris Kores Tokoro.
Kris Kores Tokoro kepada wartawan mengatakan, pembongkaran tenda-tenda dan spanduk ini dilakukan lantaran menggangu pemandangan dan keindahan Kota Sentani.
"Posisi lokasi ini persis berada di depan Bandara Sentani yang merupakan pintu gerbang Papua dan sangat menggangu keindahan dan pemandangan Kota Sentani," ujar Tokoro, seraya menambahkan, aktivitas dalam lapangan ini mulai hari ini harus dihentikan.
Pembongkaran yang berlangsung sejak pukul 8.30 hingga 11.30 WIT berlangsung tanpa ada perlawanan, dimana masyarakat yang didalam tenda berpindah ke tenda bagian belakang, namun setelah tenda bagian tengah dibongkar, maka tenda belakang yang masih diduduki masyarakat juga dibongkar.
Pembokaran tersebut cukup menarik perhatian orang sekitarnya dimana tenda-tenda saat dibongkar masyarakat yang ada didalamnya menolak pindah. Namun setelah dibongkar, maka rencana pemerintah daerah Jayapura untuk memindahkan warga dengan mendatangkan satu unit bus namun warga menolak.
"Sesuai hasil negosiasi didalam warga akan pindah sendiri tanpa diantar. Saya percaya mereka akan pindah,"ujar Kapolres Jayapura AKBP Mathius Vakhiri, seraya menambahkan, masyarakat tak ada yang eksodus karena mereka mempunyai rumah. Apabila ada mahasiswa didalam tenda-tenda itu bukan tempatnya, tetapi tempat mahasiswa di Kampus.

Siapkan Bambu Untuk Bangun Kembali Tenda
Sementara itu, setelah pembongkaran selesai dilakukan oleh Polisi Pamong Praja dibawah pengawasan Satuan Brimop Polda Papua dan Polres Jayapura, para petugas mulai meninggalkan tempat dan hanya beberapa petugas yang memantau keadaan, namun berselang sekitar satu jam lebih warga berencana kembali membangun tenda dan tampak beberapa potongan bambu untuk tiang dan terpal telah disiapkan.
Namun setelah aparat mengetahui Satuan Pamomg Praja kembali menghentikan dan satuan dari dari Brimop Polda dan Polres kembali diturunkan untuk pengamanan.
Kabag Bina Mitra Polres Jayapura AKP V. Emanuel yang bernegosisi dengan masyarakat, tetapi masyarakat tak mau meninggalkan tempat. "Sekarang pukul 13.00 WIT, kita tinggalkan tempat ini namun apabila masyarakat masih melakukan aktivitas di lokasi ini, aparat akan mengambil tindakan tegas," tukas Emanuel.
Akhirnya petugas kembali ke pinggir jalan sambil menunggu masyarakat untuk meninggalkan lokasi makam Theys. Tak lama kemudian masyarakat mulai berkemas dan meninggalkan lokasi tersebut. (Yunus Paelo)

BUKTAR HARUS DIBEBAS KAN

Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut menegaskan bahwa saudara Bucthar Tabuni harus dibebaskan karena tidak melakukan tindakan pelanggaran pidana sehinnga harus tetap bebas sampai ada keputusan yang jelas.

“Bucthar tidak melakukan tindak kekerasan dengan melakukan pemukulan atau mencuri sehingga dia tidak perlu masuk ke dalam tanahan Kejaksaan,”ujar Yaboisembut di sela sela peluncuran buku Memahami Hak hak Dasar Masyarakat Adat Papua di Hotel Mutiara, Sabtu (31/1).

Ditambahkan kalau persoalanan penahanan Buchtar berkaitan dengan masalah politik harus diselesaikan juga secara politik.

“Kalau pun melakukan pelanggaran maker dan tuduhan separatis sebenar tuduhan itu tidak jelas. Karena orang Papua selalu berjuang untuk memperoleh hak hak dasar mereka yang selama ini hilang dan dirampas,”ujar Yaboisembut. Dia mengatakan pihaknya bersama Tom Beanal akan berbicara tentang persoalan Bucthar dengan Kapolda Papua.

Sementara itu menanggapi masalah perkemahan mahasiswa di sekitar makam alm Theys Hiyo Eluay menurut Yaboisembut jangan sampai memakai momentum ini untuk mengadu dombakan sesama orang Papua. “Jangan mengadu dombakan ondoafi dengan kami semua,”tegas Yaboisembut.

Ditegaskan kalau perkemahan itu mengotori keindahan sebaiknya bapak Bupati Jayapura sebagai anak adat memberikan bantuan dana agar Dewan Adat bisa membuat taman taman yang indah di sekitar makam alm Theys H Elluay. Bahkan kalau ada kelebihan dana lokasi itu akan dibangun gedung Dewan Adat. “Secara lisan tanah itu sudah diserahkan kepada dewan adat, jadi secara adat milik adapt,”ujar Yaboisembut. (Dominggus A Mampioper).

Buctar Tabuni Ditahan Di Lebaga Permasyarakat Abepura

Ketua International Parlement of West Papua (IPWP) Buctar Tabuni dikarantina di Lembaga Pemasyarakatan Abepura selama seminggu, setelah sebelumnya ditahanan di Ruang Tahanan Kepolisian Daerah (Polda) Papua di Jayapura.

Buctar Tabuni kini dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura setelah sebelumnya mendekam di Ruang Tahanan Kepolisian Daerah (Polda) Papua. Karena baru dipindahkan, maka petugas tak mengijinkan siapapun untuk menjenguknya.
Buctar Tabuni yang dituduh melakukan makar terkait memimpin demonstrasi di Depan Expo Perumnas I, Waena, Jayapura pada 16 Oktober 2008 lalu. Sejak saat itu, ia mendekam di Ruang Tahanan Polda Papua.
Berhubung masa tahannya telah selesai, maka Polda Papua kembali menyerahkan Buctar ke Pengadilan Negeri Jayapura, Kamis (29/1). Dengan tujuan menunggu bukti-bukti yang akan di proses hukum lebih lanjut.
Jelang hari pertama Buctar dipindahkan dari ke LP Abepura, Sabtu (31/1), maka JUBI hendak mengunjungi Buctar. Namun demikian, ketika sampai di ruang tahanan---tak diijinkan.
Petugas LP Abepura berbaju singlet dan tak berseragam itu tak melayani kedatangan bahkan menolak kedatangan dengan alasan Buctar tak bisa dikunjungi oleh keluarga bahkan siapapun, berhubung dia baru dipindahkan dari Ruang Tahanan Polda Papua ke LP Abepura.
Petugas LP Abepura yang tak menyebutkan identitasnya itu mengatakan, saat ini Buctar dikarantina selama seminggu. "Buctar tra bisa dijenguk, nanti hari Jumat baru bisa jenguk," ujar petugas LP tersebut. (Musa Abubar)

Sumber : Tabloid Jubi Online

Senin, 14 September 2009

SELAMATKAN TANAH DAN ORANG PAPUA


JAYAPURA-Pada 13 September kemarin, dikenal sebagai Hari Hak Azasi Manusia Internasional bagi Bangsa Pribumi se-Dunia. Hal itu sesuai dengan deklarasi PBB 13 September 2007 lalu.
Terkait hal ini, Dewan Adat Papua (DAP) sebagai masyarakat pribumi turut memperingati ulang tahun ke-3 Hari Hak Azasi Manusia Internasional bagi Bangsa Pribumi se-Dunia tersebut.
Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut,S.Pd, mengatakan, tema yang diangkat adalah "Mari Kita Selamakan Tanah dan Orang Asli Papua". Tema ini menjadi suatu seruan tentang penyelamatan tanah dan orang asli papua, bangsa Papua, rumpun Melanesia, ras Negroid yang masih tersisa 1,2 juta jiwa dari creeping genoside (pemusnahan secara merangkak perlahan-lahan) dan dari kehancuran tanah Papua menuju Papua baru.
Seruan penyelamatan tanah dan orang asli Papua terdiri dari 8 bagian yaitu, penyelamatan tanah Papua, penyelamatan jiwa orang asli Papua dari creeping genoside, perilaku orang asli Papua yang berakibat creeping genoside, penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA), penyelamatan hutan, penyelamatan kampung-kampung tradisional, masa depan orang asli Papua, permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan akan dihadapi orang asli Papua.
Pokok-pokok seruan sebagaimana diungkapkan itu, sebagai pengingat dan peringatan untuk harus diingat dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Papua. Pertama, keselamatan dan masa depan orang Papua ada di tangan orang Papua sendiri. Sebab ancaman kematian kian semakin menyata dimana masyarakat adat ditembak, dibunuh, diculik, ditangkap, dipenjarakan, mati kelaparan, menderita dan mati karena sakit dan penyakit.
Kedua, dilihat dari perkembangan jumlah penduduk di tanah Papua pada saat menjelang pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969, jumlah penduduk asli Papua lebih kurang 800.000 jiwa dan sampai dengan pada tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua berjumlah 1, 2 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan dengan Negara tetangga PNG (Papua New Guinea) pada saat merdeka pada tahun 1975, jumlah penduduk 700.000 jiwa dan pada tahun 2007, negara tetangga tersebut jumlah penduduknya sekitar 7 juta jiwa.
Ini pertanda bahwa pertumbuhan penduduk orang asli Papua di Papua Barat tidak bertambah secara signifikan dalam kurun waktu yang sama. Bertolak dari perbedaan jumlah penduduk yang amat mencolok di atas menyatakan sejak integrasi hingga saat ini terindikasi telah, sedang dan akan terjadi creeping genoside pada orang asli Papua. Hal ini dapat menyata dengan telah terjadinya berbagai operasi tumpas yang dilakukan oleh militer secara langsung semenjak 1 Mei 1963-1998, pembunuhan kilat, penembakan, penculikan, penangkapan dan pemenjarahan sewenang-wenang, pembunuhan psikis dengan Tuhan separatis, makar dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Disamping itu, masyarakat adat Papua juga dibunuh dengan cara diracuni melalui makanan dan minuman, minuman keras, pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan meninggal karena kelaparan dan penyakit HIV/AIDS. Akibatnya, populasi penduduk asli Papua semakin terancam.
Sebuah paper penelitian yang sampaikan dalam Indonesian Solidarity an the West Papua Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia yang disampaikan oleh Dr. Jim Elmslie menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada tahun 2020. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030. Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15.2% dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1:6,5. Oleh karena itu, masyarakat adat tanpa terkecuali di semua level dan tingkatan harus menyelematkan diri terlebih dahulu dari ancaman kematian dan dari berbagai proses ketidakadilan yang dialami.
Ketiga, eksploitasi SDA terus terjadi di tanah Papua. Masyarakat adat mati di atas kekayaan alam (emas), sementara kaum pemodal dan penguasa menari-nari di atas tulang belulang dan darah masyarakat adat Papua. Eksploitasi tambang tembaga dan emas oleh PT. Freeport dan gas alam oleh Brithis Petrolium di Babo Bintuni, perusahaan gas di Sorong serta berbagai perusahaan lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dielakan. Demikian pula dengan pengeksploitasian hutan yang terus dilakukan secara legal maupun illegal.
Keempat, dalam pandangan dasar hidup masyarakat adat Papua, tanah adalah mama yang melahirkan, memberi makan, hidup dan beranak cucu. Karena itu tanah sesungguhnya milik komunitas dan bukan milik pribadi tertentu. Tanah bagi masyarakat Adat Papua memiliki nilai ekomis dan religi.
"Soal tanah adat kami DAP serukan penyadaran dulu, nanti kami tindaklanjuti dengan aturan," ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor DAP, Minggu, (13/9).
Secara iman (secara khusus Kristiani) tanah adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada setiap bangsa dengan batasnya untuk keberlangsungan hidup mereka (Lih. Kitab Ulangan 19:13 dan 27:17). Lahan produktif pertanian tidak lagi dialihfungsikan untuk perumahan, penanaman kelapa sawit, lahan industri namun dilindungi demi keberlangsungan hidup masyarakat Adat Papua. Oleh karena itu, diserukan kepada orang asli Papua supaya tanah hak milik Masyarakat Adat Papua jangan dijual lagi namun disewakan atau dikontrakkan bagi pemodal dan pengguna lainnya.
Kelima, secara ekonomi masyarakat adat terus semakin tersisih. Tempat-tempat sentral di kota-kota, tanah semua dikuasai oleh pemodal yang nota benenya warga migran. Mereka mendirikan ruko-ruko, supermarket dan sentra-sentra ekonomi dimana-mana. Akibatnya masyarakat adat tidak mendapatkan tempat yang layak dan manusiawi.
Keenam, semakin derasnya arus perubahan dan tidak adanya perhatian dari semua pihak dalam memelihara serta melestarikan kampung-kampung tradisional dengan segala sistem dan nilai pemerintahan tradisional semakin hilang dan musnah. Hak hidup dan kebebasan masyarakat adat Papua semakin terancam. Pemerintah melalui aparat penegak hukum terus melakukan pembungkaman hak dan kebebasan bagi masyarakat adat Papua. Sebaliknya apa yang menjadi tanggungjawab aparat belum secara serius mengungkapkan tuntutan masyarakat adat.
Beberapa persoalan yang patut disebutkan ialah pelaku penembakan Opinus Tabuni yang tertempak pada tanggal 9 Agustus 2009 di Lapangan Sinapuk Wamena pada saat memperingati hari Internasional Masyarakat Pribumi. Demikian pula proses hukum pelaku penculikan Theys Hiyo Eluay dan sopirnya Aristoteles Masoka serta berbagai kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Bertolak dari keprihatinan sebagaimana diungkapkan di atas, guna mengakhiri dan menyelamatkan masyarakat adat Papua maka ia menyuarakan dan menyatakan sikap, bahwa, seluruh masyarakat adat untuk saling bahu membahu membangun kekeluargaan, persatuan, persaudaraan sebagai sesama anak adat Papua untuk menyelamatkan diri dan tanah Papua dari ancaman kepunahan.
Berikutnya, berjuang agar mencapai kesadaran bahwa semua orang adalah satu bangsa yakni bangsa Papua, rumpun melanesia dan ras negroid di pasifik dan bukan bangsa Indonesia, rumpun Melayu dari Yunan Kamboja.
"Pemerintah Indonesia, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-bangsa, Pemerintah Belanda untuk segera membuka diri guna dilakukannya dialog internasional atau referendum bagi penyelesaian dan penyelamatan masyarakat adat Papua dari krisis kemanusiaan dan ancaman pemusnahan yang semakin menyata," tegasnya.
Tentang, penembakan di Timika, jika dilihat modusnya sama dengan penembakan warga Amerika Serikat beberapa bulan lalu, hanya saja dalam akhir-akhir ini intensitasnya meningkat, dan jelas ini mungkin saja dilakukan oleh agen provokator yang sama, karena mereka yang menembak itu adalah orang yang terlatih dalam menembak maupun menghilangkan jejaknya.
"Saya pernah bilang bahwa coba OPM ditarik dan pasukan juga ditarik, dan dilihat siapa dalang dari aksi penembakan itu. Ini skenario yang sudah diatur agar membungkam masyarakat yang memperjuangkan haknya pada PT. Freeport itu, karena tidak mau kue yang sama dibagi, maka dibuatlah aksi-aksi penembakan itu, supaya masyarakat adat ditangkap, diintimidasi supaya jangan berteriak lagi. Mana ada masyarakat adat punya senjata," terangnya.(nls/fud