19 Januari 2009
JUBI - Dalam forum Conferention of Parties (COP) XIV di Poznan, Polandia akhir tahun 2008 terjadi perdebatan negara-negara berkembang dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand mengenai masyarakat pribumi atau yang biasa kita sebut Masyarakat Adat. Empat negara maju tersebut menolak penggunaan “S” dalam kalimat “full end effective participation of Indigenous Peoples” pada skema Reduction Emitions from Deforestation and Degradation (REDD).
Peniadaan “S” dalam dokumen draft text Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) 29 agenda item 5 diduga oleh komunitas masyarakat pribumi sebagai upaya meniadakan hak-hak masyarakat adat dalam skema REDD. Dengan kata lain, mereka mengakui eksistensi Masyarakat Adat dalam perpektif individu, bukan komunal, sehingga tidak mengakui adanya hak-hak masyarakat adat yang diakui oleh PBB melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).
Pandangan empat negara maju ini mendapat protes yang sangat keras oleh sembilan orang pemimpin masyarakat pribumi yang mewakili kelompok masyarakat pribumi dari seluruh dunia dalam event tersebut. Sayangnya, pada tanggal 10 Desember, komunitas masyarakat pribumi ini juga ditolak untuk menyampaikan pandangan final mereka terhadap dokumen SBSTA tersebut.
“Ini sangat tidak fair. Mereka telah menghilangkan substansi yang menyebutkan bahwa masyarakat pribumi memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap keputusan yang akan diambil yang bisa mempengaruhi kehidupan diwilayah mereka.” ujar Vicky Torpuz, Chair of the UN Permanent Forum on Indigenous Issues.
Tidak diragukan lagi, ini bukan mengenai perdebatan semantika, tapi merupakan perdebatan antara visi kapitalis dan visi indigenous. Visi Kapitalis tentunya berpihak pada tradisi ekspansi kapital sebagai wujud baru kolonialisme dan tentu saja bertolak belakang dengan visi indigenous yang memiliki tradisi heritage. Belum lagi jika kita melihat sudut pandang masyarakat adat dimanapun mengenai dimensi kehidupan di sekitar mereka yang tidak lepas dari apa yang disebut masyarakat modern sebagai Sumber Daya Alam (SDA). Dan di sisi lain, SDA merupakan salah satu tujuan utama tradisi ekspansi yang dilakukan para kapitalis. Yang juga memisahkan SDA dari konteks alam yang dipahami oleh masyarakat adat sebagai satu kesatuan utuh dengan mereka. Sehingga bukanlah hal yang aneh jika masyarakat adat memandang tanah sebagai satu kesatuan utuh, baik apa yang ada di dalam tanah, di atas tanah hingga disekitarnya, termasuk manusia yang tinggal diatasnya. Di sini, apa yang kemudian disebut sebagai ancestral domain lebih rasional daripada apa yang dikenal sebagai ancestral land dalam hukum-hukum tentang tanah. Tidak ada kehidupan tanpa tanah. Itulah yang diyakini oleh masyarakat adat dimanapun mereka berada.
Perdebatan di atas, merupakan sebuah potret masyarakat internasional tentang masyarakat adat. Sebuah fakta yang juga terjadi di Papua sejak jaman kolonialisme Belanda hingga jaman Otsus ini. Konflik apapun di Papua ini bisa dipastikan bersumber dari SDA dan hak-hak masyarakat adat Papua. Misalnya dalam Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
“Bagi orang Papua tanah itu sangat penting karena sama dengan kehidupan manusia dan juga sebagai identitas dari setiap kelompok etnis yang memiliki wilayah tertentu.
Kalau ada pemanfaatan terhadap tanah itu oleh pihak lain maka itu akan menjadi persoalan besar. Karena setiap kelompok etnis mempunyai cara-cara tertentu untuk memanfaatkan tanah. Ada bagian-bagian yang dipakai untuk berkebun, ada bagian lain yang dibiarkan tetap hutan alami agar menjadi tempat tinggal hewan untuk berburu atau tempat mencari kayu untuk bahan-bahan membangun rumah. Jadi ada bagian-bagian tanah tertentu yang harus mereka tebang atau dijaga pelestariannya.” ujar J. Mansoben, Antropolog dari Universitas Cenderawasih, tentang fungsi tanah bagi orang Papua kepada Tabloid Jubi dalam salah satu wawancara dengannya.
Jika merujuk pada fungsi tanah bagi orang Papua yang disebutkan diatas, pasal dalam UU Pokok Agraria diatas tentunya meniadakan eksistensi masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum konsep negara diperkenalkan yang pastinya telah dan masih akan menimbulkan konflik antara negara dan masyarakat. Sengketa tanah antar masyarakat Papua maupun antara masyarakat dengan pihak lainnya merupakan wujud dari implementasi UU tersebut yang tidak memperhatikan nilai dan fungsi tanah bagi orang Papua.
Demikian juga dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang kemudian menjadi pintu masuk PT. Freeport Indonesia untuk melakukan eksplorasi di Timika tanpa sedikitpun menghargai eksistensi masyarakat Adat di wilayah tersebut. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada emas dan tembaga di Timika, tapi juga terjadi pada kekayaan lain masyarakat adat Papua seperti hutan, laut, gas alam, keanekaragaman hayati hingga kekayaan intelektual orang Papua. Dalam perspektif masyarakat adat ini lebih tepat disebut sebagai perampasan daripada sebuah pembangunan.
Di masa lalu, masyarakat adat Papua telah mengembangkan sistem distribusi SDA, ekonomi, dan politik berdasarkan hukum adat yang dimiliki oleh masing-masing komunitas. Misalnya kepemilikan komunal atas tanah mencerminkan pola demokratis dalam sistem distribusi SDA. Demikian juga dengan pola-pola kepemimpinan seperti Bigman dan Ondoafi yang mencerminkan sistem politik dalam hukum adat masyarakat Papua. Ondoafi ataupun Bigman, hancur sejak diterapkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeret sistem politik tradisional milik masyarakat Papua ke dalam sistem pemerintahan administratif desa.
Terseretnya “Self Governing Community” ini juga menyeret hak komunitas (termasuk tanah) dalam klaim negara. Sejak saat ini juga, komunitas masyarakat adat menjadi sub-ordinat dari pemerintahan desa yang bisa disebut sebagai proses “negaranisasi”. Ditambah lagi dengan tradisi kapitalis yang mulai merambah Papua, maka proses “negaranisasi” ini menjadi sebuah legitimasi politik penguasaan atas sumber daya alam milik masyarakat Papua. Hak masyarakat adat Papuapun menjadi hilang.
Jika mengutip pendapat Marx, semakin tampak ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber langka yang ada dalam suatu sistem sosial, maka akan terjadi kecenderungan yang semakin kuat ke arah konflik kepentingan antara segmen dominan dan sub-ordinat. Pendapat ini dipertegas oleh Jonathan Turner, seorang Profesor Teori Sosiologi dari University of California at Riverside (USA) bahwa semakin segmen sub-ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang sesungguhnya (true collective interests), semakin cenderung mereka mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber daya yang semakin langka.
Teori-teori ini menjadi sangat rasional jika masyarakat adat Papua merasa perlu menuntut kembali hak-hak mereka yang telah “dirampas” oleh negara maupun sektor swasta. Ironisnya, perbedaan perspektif antara negara dengan komunitas masyarakat adat tentang SDA ini seringkali menempatkan masyarakat adat Papua dalam ketidakadilan. Dalam pengalaman masyarakat adat Papua, ketidakadilan ini seringkali muncul dalam stigma separatis yang dimunculkan oleh negara. Selain itu, muncul juga dalam pengembangan opini/wacana tentang masyarakat adat Papua sebagai korban. Perspektif korban dalam memandang masyarakat Papua ini sangat tidak adil untuk sebuah komunitas yang memiliki kekayaan alam melimpah. Perspektif seperti ini bisa jadi akan meniadakan prinsip Self Determination masyarakat adat yang diakui dalam UNDRIP.
Lebih ironis lagi, status Otonomi Khusus yang diberikan untuk provinsi Papua yang bertujuan mulia untuk memajukan Papua lebih banyak diidentikan dengan uang. Berapa besar dana Otsus yang di dapat, berapa banyak yang dikorupsi, berapa banyak alokasinya untuk setiap sektor selalu menjadi topik utama dalam forum-forum tentang Otonomi Khusus Papua. Sementara substansi Otsus sendiri, yakni hak-hak dasar orang asli Papua, menjadi nomor kesekian. Suara-suara yang menginginkan penuntasan hak-hak dasar orang asli Papua ini juga seringkali dituding sebagai suara separatis.
Tidak mudah menempatkan masyarakat adat Papua dalam sebuah opini/wacana yang adil, terutama dalam perspektif pemilik kekayaan melimpah dan bukan dalam perspektif korban. Selain karena belum adanya regulasi nasional yang bisa mengarahkan perspektif masyarakat secara adil dalam memandang masyarakat adat, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak ekosob masyarakat adat Papua masih juga dipandang dalam perspektif sipil politik. Tidak hanya oleh negara tapi juga oleh aktor-aktor non negara lainnya. Fakta ini juga yang menjadi kendala untuk menyelesaikan persoalan-persoalan Papua pada “akarnya”. (Victor Mambor)
Sumber : Tabloidjubi.com
Peniadaan “S” dalam dokumen draft text Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) 29 agenda item 5 diduga oleh komunitas masyarakat pribumi sebagai upaya meniadakan hak-hak masyarakat adat dalam skema REDD. Dengan kata lain, mereka mengakui eksistensi Masyarakat Adat dalam perpektif individu, bukan komunal, sehingga tidak mengakui adanya hak-hak masyarakat adat yang diakui oleh PBB melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).
Pandangan empat negara maju ini mendapat protes yang sangat keras oleh sembilan orang pemimpin masyarakat pribumi yang mewakili kelompok masyarakat pribumi dari seluruh dunia dalam event tersebut. Sayangnya, pada tanggal 10 Desember, komunitas masyarakat pribumi ini juga ditolak untuk menyampaikan pandangan final mereka terhadap dokumen SBSTA tersebut.
“Ini sangat tidak fair. Mereka telah menghilangkan substansi yang menyebutkan bahwa masyarakat pribumi memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap keputusan yang akan diambil yang bisa mempengaruhi kehidupan diwilayah mereka.” ujar Vicky Torpuz, Chair of the UN Permanent Forum on Indigenous Issues.
Tidak diragukan lagi, ini bukan mengenai perdebatan semantika, tapi merupakan perdebatan antara visi kapitalis dan visi indigenous. Visi Kapitalis tentunya berpihak pada tradisi ekspansi kapital sebagai wujud baru kolonialisme dan tentu saja bertolak belakang dengan visi indigenous yang memiliki tradisi heritage. Belum lagi jika kita melihat sudut pandang masyarakat adat dimanapun mengenai dimensi kehidupan di sekitar mereka yang tidak lepas dari apa yang disebut masyarakat modern sebagai Sumber Daya Alam (SDA). Dan di sisi lain, SDA merupakan salah satu tujuan utama tradisi ekspansi yang dilakukan para kapitalis. Yang juga memisahkan SDA dari konteks alam yang dipahami oleh masyarakat adat sebagai satu kesatuan utuh dengan mereka. Sehingga bukanlah hal yang aneh jika masyarakat adat memandang tanah sebagai satu kesatuan utuh, baik apa yang ada di dalam tanah, di atas tanah hingga disekitarnya, termasuk manusia yang tinggal diatasnya. Di sini, apa yang kemudian disebut sebagai ancestral domain lebih rasional daripada apa yang dikenal sebagai ancestral land dalam hukum-hukum tentang tanah. Tidak ada kehidupan tanpa tanah. Itulah yang diyakini oleh masyarakat adat dimanapun mereka berada.
Perdebatan di atas, merupakan sebuah potret masyarakat internasional tentang masyarakat adat. Sebuah fakta yang juga terjadi di Papua sejak jaman kolonialisme Belanda hingga jaman Otsus ini. Konflik apapun di Papua ini bisa dipastikan bersumber dari SDA dan hak-hak masyarakat adat Papua. Misalnya dalam Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
“Bagi orang Papua tanah itu sangat penting karena sama dengan kehidupan manusia dan juga sebagai identitas dari setiap kelompok etnis yang memiliki wilayah tertentu.
Kalau ada pemanfaatan terhadap tanah itu oleh pihak lain maka itu akan menjadi persoalan besar. Karena setiap kelompok etnis mempunyai cara-cara tertentu untuk memanfaatkan tanah. Ada bagian-bagian yang dipakai untuk berkebun, ada bagian lain yang dibiarkan tetap hutan alami agar menjadi tempat tinggal hewan untuk berburu atau tempat mencari kayu untuk bahan-bahan membangun rumah. Jadi ada bagian-bagian tanah tertentu yang harus mereka tebang atau dijaga pelestariannya.” ujar J. Mansoben, Antropolog dari Universitas Cenderawasih, tentang fungsi tanah bagi orang Papua kepada Tabloid Jubi dalam salah satu wawancara dengannya.
Jika merujuk pada fungsi tanah bagi orang Papua yang disebutkan diatas, pasal dalam UU Pokok Agraria diatas tentunya meniadakan eksistensi masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum konsep negara diperkenalkan yang pastinya telah dan masih akan menimbulkan konflik antara negara dan masyarakat. Sengketa tanah antar masyarakat Papua maupun antara masyarakat dengan pihak lainnya merupakan wujud dari implementasi UU tersebut yang tidak memperhatikan nilai dan fungsi tanah bagi orang Papua.
Demikian juga dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang kemudian menjadi pintu masuk PT. Freeport Indonesia untuk melakukan eksplorasi di Timika tanpa sedikitpun menghargai eksistensi masyarakat Adat di wilayah tersebut. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada emas dan tembaga di Timika, tapi juga terjadi pada kekayaan lain masyarakat adat Papua seperti hutan, laut, gas alam, keanekaragaman hayati hingga kekayaan intelektual orang Papua. Dalam perspektif masyarakat adat ini lebih tepat disebut sebagai perampasan daripada sebuah pembangunan.
Di masa lalu, masyarakat adat Papua telah mengembangkan sistem distribusi SDA, ekonomi, dan politik berdasarkan hukum adat yang dimiliki oleh masing-masing komunitas. Misalnya kepemilikan komunal atas tanah mencerminkan pola demokratis dalam sistem distribusi SDA. Demikian juga dengan pola-pola kepemimpinan seperti Bigman dan Ondoafi yang mencerminkan sistem politik dalam hukum adat masyarakat Papua. Ondoafi ataupun Bigman, hancur sejak diterapkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeret sistem politik tradisional milik masyarakat Papua ke dalam sistem pemerintahan administratif desa.
Terseretnya “Self Governing Community” ini juga menyeret hak komunitas (termasuk tanah) dalam klaim negara. Sejak saat ini juga, komunitas masyarakat adat menjadi sub-ordinat dari pemerintahan desa yang bisa disebut sebagai proses “negaranisasi”. Ditambah lagi dengan tradisi kapitalis yang mulai merambah Papua, maka proses “negaranisasi” ini menjadi sebuah legitimasi politik penguasaan atas sumber daya alam milik masyarakat Papua. Hak masyarakat adat Papuapun menjadi hilang.
Jika mengutip pendapat Marx, semakin tampak ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber langka yang ada dalam suatu sistem sosial, maka akan terjadi kecenderungan yang semakin kuat ke arah konflik kepentingan antara segmen dominan dan sub-ordinat. Pendapat ini dipertegas oleh Jonathan Turner, seorang Profesor Teori Sosiologi dari University of California at Riverside (USA) bahwa semakin segmen sub-ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang sesungguhnya (true collective interests), semakin cenderung mereka mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber daya yang semakin langka.
Teori-teori ini menjadi sangat rasional jika masyarakat adat Papua merasa perlu menuntut kembali hak-hak mereka yang telah “dirampas” oleh negara maupun sektor swasta. Ironisnya, perbedaan perspektif antara negara dengan komunitas masyarakat adat tentang SDA ini seringkali menempatkan masyarakat adat Papua dalam ketidakadilan. Dalam pengalaman masyarakat adat Papua, ketidakadilan ini seringkali muncul dalam stigma separatis yang dimunculkan oleh negara. Selain itu, muncul juga dalam pengembangan opini/wacana tentang masyarakat adat Papua sebagai korban. Perspektif korban dalam memandang masyarakat Papua ini sangat tidak adil untuk sebuah komunitas yang memiliki kekayaan alam melimpah. Perspektif seperti ini bisa jadi akan meniadakan prinsip Self Determination masyarakat adat yang diakui dalam UNDRIP.
Lebih ironis lagi, status Otonomi Khusus yang diberikan untuk provinsi Papua yang bertujuan mulia untuk memajukan Papua lebih banyak diidentikan dengan uang. Berapa besar dana Otsus yang di dapat, berapa banyak yang dikorupsi, berapa banyak alokasinya untuk setiap sektor selalu menjadi topik utama dalam forum-forum tentang Otonomi Khusus Papua. Sementara substansi Otsus sendiri, yakni hak-hak dasar orang asli Papua, menjadi nomor kesekian. Suara-suara yang menginginkan penuntasan hak-hak dasar orang asli Papua ini juga seringkali dituding sebagai suara separatis.
Tidak mudah menempatkan masyarakat adat Papua dalam sebuah opini/wacana yang adil, terutama dalam perspektif pemilik kekayaan melimpah dan bukan dalam perspektif korban. Selain karena belum adanya regulasi nasional yang bisa mengarahkan perspektif masyarakat secara adil dalam memandang masyarakat adat, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak ekosob masyarakat adat Papua masih juga dipandang dalam perspektif sipil politik. Tidak hanya oleh negara tapi juga oleh aktor-aktor non negara lainnya. Fakta ini juga yang menjadi kendala untuk menyelesaikan persoalan-persoalan Papua pada “akarnya”. (Victor Mambor)
Sumber : Tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar